A. URAIAN MATERI
1.
Konsep
Kekerasan Sosial
Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin ’violentus’,
yang berarti keganasan, kebengisan, kadahsyatan, kegarangan, aniaya, dan
pemerkosaan (Fromm, 2000). Tindak kekerasan, menunjuk kepada tindakan yang
dapat merugikan orang lain, misalnya: pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan
lain-lain.
Soerjono Soekanto (2002: 98), mengartikan kekerasan (violence) sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau
benda. Selain penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, kekerasan juga bisa
berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak (Narwoko dan Suyanto, 2000: 70).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa tindak
kekerasan merupakan perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang atau
kelompok lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak
pada kerusakan hingga trauma psikologis bagi korban.
2. Bentuk-Bentuk
Kekerasan
Kekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak
kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan
hidupnya. Tidak mengherankan, jika semakin hari kekerasan semakin
meningkatdalam berbagai macam dan bentuk. Galtung (1996:
203) mencoba menjawab dengan membagi tipologi kekerasan
menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. Kekerasan Langsung. Kekerasan langsung biasanya berupa
kekerasan fisik, disebut juga sebagai sebuah peristiwa (event) dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam
perilaku, misalnya: pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan
langsung merupakan tanggungjawab individu, dalam arti individu yang melakukan
tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum pidana.
b.
Kekerasan
Struktural (kekerasan yang melembaga). Disebut juga sebuah proses dari
terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan
struktur, misalnya: diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan
kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana
tanggungjawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya
merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan.administrasi, melakukan
pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada
sistem hukum pidana yang berlaku.
c. Kekerasan Kultural. Kekerasan kultural merupakan suatu
bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang
dianut dalam masyarakat, misalnya: kebencian, ketakutan, rasisme,
ketidaktoleranan, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh
agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan. Beberapa ahli
menyebut tipe kekerasan seperti ini sebagai kekerasan psikologis.
Dalam pandangan Bourdieu (Martono, 2009) kekerasan
struktural dan kultural dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan
simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang
timpang dan hegemonik di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior
entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap
tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan dan atau komunikasi yang
sewenang-wenang di antara dua pihak. Dalam hal kekerasan simbolik hubungan
tersebut berkaitan dengan pencitraan pihak lain yang bias, monopoli makna, dan
pemaksaan makna entah secara tekstual, visual, warna Contoh, julukan “kafir”
untuk menyebut agama yang berbeda dengan kelompok yang dianutnya, sebutan
”hitam” bagi kelompok kulit hitam, sebutan ”bodoh” bagi siswa, dan sebutan
”miskin” untuk menunjuk orang tidak mampu secara ekonomi, dan seterusnya.
Jika dilihat berdasarkan pelakunya, kekerasan juga dapat
digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu: kekerasan individual dan kekerasan
kolektif. Kekerasan individual, adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu
kepada satu atau lebih individu. Contoh: pencurian, pemukulan, penganiayaan,
dan lain-lain. Sedangkan kekerasan kolektif, merupakan kekerasan yang dilakukan
oleh banyak individu atau massa. Contoh: tawuran pelajar, bentrokan antar desa.
Kekerasan kolektif dapat disebabkan oleh larutnya individu dalam kerumunan,
sehingga seseorang menjadi tidak lagi memiliki kesadaran individual atau hilang
rasionalitas. Kerusuhan sepak bola mungkin contoh yang tepat untuk kekerasan
yang satu ini. Selain juga
“penghakiman massa” terhadap pencuri atau pelaku kejahatan jalanan.
Klasifikasi lain dikemukakan oleh Sejiwa (2008: 20), yang
membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu: kekerasan fisik dan
kekerasan non-fisik. Kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang kasat mata.
Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku
dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki,
menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan
non fisik yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa
langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan
fisik antara pelaku dengan korbannya.
Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan
verbal dan kekerasan psikis. Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat
kata-kata. Contoh: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki,
memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar,
mempermalukan di depan umum dengan lisan, dan lain-lain. Sementara itu
kekerasan psikologis/psikis merupakan kekerasan yang dilakukan lewat bahasa
tubuh. Contoh: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan,
mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan memelototi.
3. Faktor-faktor
Pendorong Terjadinya Tindak Kekerasan
Banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat
menimbulkan rasa keprihatinan yag mendalam dalam diri anggota masyarakat.
Setiap kekerasan yang terjadi, tidak sekedar muncul begitu saja tanpa
sebab-sebab yang mendorongnya. Oleh karena itu, para ahli sosial berusaha
mencari penyebab terjadinya kekerasan dalam rangka menemukan solusi tepat
mengurangi kekerasan.
Menurut Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang
alamiah dalam diri manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang
dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci
sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan berpikir pendek. Hobbes mengatakan
bahwa manusia adalah serigala bagi manusia (homo homini lupus). Oleh karena
itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan, sikap
kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada pemerintah.
Bahkan Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan
kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengedalikan situasi dan
kondisi bangsa.
Sedangkan J. J. Rosseau mengungkapkan bahwa pada dasarnya
manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, serta tidak egois. Peradaban
serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya. Manusia
menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Dengan kata lain kekerasan yang
dilakukan bukan merupakan sifat murni manusia.
Terlepas dari kedua tokoh tersebut, ada beberapa faktor yang
dapat memicu timbulnya kekerasan, yaitu sebagai berikut :
a.
Faktor Individual
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok,
termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Faktor
penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial.
Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya
dan faktor media massa.
b.
Faktor Kelompok
Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan
identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok
inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab
kekerasan.
c.
Faktor
Dinamika Kelompok
Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi
relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-
perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak
mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya. Dalam
konteks ini munculnya kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai
berikut :
1) Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang
disebabkan oleh struktur sosial tertentu.
2) Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar
anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar.
Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga
menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
3) Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu
sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan
dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.
4) Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa
pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari
akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
5) Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat
keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan.
4. Penutup
Tindakan kekerasan akan berdampak negatif seperti kerugian
baik material maupun nonmaterial. Menghentikan kekerasan tentu tidak dapat
dilakukan hanya oleh beberapa pihak. Pemerintah sebagai pemilik kekuasaan dalam
negara memang selayaknya menjadi pemimpin dalam upaya menghentikan kekerasan.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kekerasan bukan
solusi untuk sebuah permasalahan, tetapi menciptakan permasalahan baru.
Pemerintah juga perlu memberikan contoh dan bukti nyata bahwa kekerasan tidak
layak untuk dilakukan di sebuah negara merdeka dan demokratis. Di sisi lain,
masyarakat juga harus melakukan fungsi pencegahan untuk lebih peduli terhadap
ketenteraman lingkungan menuju kehidupan sosial yang damai dan harmonis.
B. RANGKUMAN
1. Soerjono Soekanto (2002: 98), mengartikan kekerasan (violence) sebagai penggunaan kekuatan
fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selain penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, kekerasan juga bisa
berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak (Narwoko dan Suyanto, 2000: 70).
2. Tipe-Tipe Kekerasan, Galtung (1996: 203) mencoba menjawab
dengan membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga), yaitu: Kekerasan Langsung.
Kekerasan langsung biasanya berupa kekerasan fisik, Kekerasan Struktural,
terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya: diskriminasi dalam
pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan kultural merupakan suatu
bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang
dianut dalam masyarakat, misalnya: kebencian, ketakutan, rasisme,
ketidaktoleranan, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh
agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan.
3. Dalam pandangan Bourdieu (2005) kekerasan struktural dan
kultural dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik
adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang
dan hegemonik di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior entah dari
segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia.
4. Jika dilihat berdasarkan pelakunya, kekerasan juga dapat
digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu: kekerasan individual dan kekerasan
kolektif. Kekerasan individual, adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu
kepada satu atau lebih individu. Contoh: pencurian, pemukulan, penganiayaan,
dan lain-lain. Sedangkan kekerasan kolektif, merupakan kekerasan yang dilakukan
oleh banyak individu atau massa. Contoh: tawuran pelajar, bentrokan antar desa.
5.
Beberapa
faktor yang dapat memicu timbulnya kekerasan, yaitu sebagai berikut :faktor
individual, faktor kelompok, dan faktor
dinamika kelompok
Dalam konteks ini munculnya kekerasan dapat terjadi oleh
beberapa hal yaitu sebagai berikut :
a.
Situasi
sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur
sosial tertentu.
b.
Tekanan
sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa
banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup
menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
c.
Berkembangnya
perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran
kebencian itu berkaitan dengan
faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu
kekerasan.
d.
Mobilisasi
untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak.
Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
e.
Kontrol
sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk
mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan.
Sumber
:
Susvi
Tantoro, S.Sos, M.A., Dra. Hj. Sri Suntari, M.Si. MODUL PENGEMBANGAN
KEPROFESIAN BERKELANJUTAN MATA PELAJARAN
SOSIOLOGI, Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2017