Jumat, 01 Januari 2010

makalah dikotomi pendidikan dari perspektif strukturalism

BAB I PENDAHULUAN

DIKOTOMI PENDIDIKAN DAN TAFSIR STRUKTURALISME
(Sebuah tinjauan antropologis)
1.1 Latar belakang masalah
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menetukan arah kehidupan melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam literature ilmu social disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan system ide, system sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan..Hal yang menarik lagi dalam diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari perkembangan pendidikan di Indonesia. Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini adalah faktor kesejarahan. Bagaimanapun juga sejarah warisan colonial Belanda turut membentuk wajah pendidikan kita.
Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat. Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta.

Melalui makalah ini, saya berusaha mengungkapkan wajah pendidikan di negeri kita ini, yang penuh dengan masalah yang sebenarnya merupakan fenomena budaya yang unik. Melaui pendekatan deskriptif-historis, saya berusaha mengungkapkannya, menggambarkan permasalahan yang saya angkat. Dalam tugas saya ada banyak tema besar yang secara eksplisit dipaparkan yang saya kategorikan sebagai permasalahan yang pertama yaitu dikotomi, kedua masalah menejemen, dan yang terakhir masalah dampak yang muncul dari fungsi lembaga pendidikan. Dan ketiga tema besar tadi tentunya membutuhkan waktu lama untuk meneliti yang lebih radikal. Saya disini, hanya akan menyampaikan wajah/ potretnya yang penting sebagai bahan renungan dan tindakan lebih lanjut.
1.2. Rumusan masalah
Yang menjadi pokok pembicaraan dalam makalah saya adalah:
1. Bagaimana dikotomi yang ada dalam pendidikan kita muncul baik itu negeri-swasta, umum-agama, umum-kejuruan?
2. Bagaimana fungsi menejerial dalam pendidikan berlangsung?




BAB 2 PEMBAHASAN
(fenomena dikotomi dan perubahan menejerial dalam dunia pendidikan)
2.1 Dualisme sebagai akibat dari akar budaya
Skema yang perlu saya paparkan untuk memudahkan analisa, saya sajikan dalam bentuk oposisi biner(oposisi berpasangan).

Umum: agama

Wacana dikotomi bukanlah persoalan kontemporer tetapi tumbuh sejak lama yang punya historisitas yang panjang sejak lahirnya peradaban manusia pun telah ada pemisahan antara yang benar dan salah yang hak dan yang batil. Sejarah pendidikan kita sekarang tidak bisa lepas dari sitem pendidikan islam dan sistem pendidikan yang berasal dari warisan kolonial Belanda. Hal itu dikarenakan pendidikan islam di Indonesia telah ada sebelum adanya pendidikan formal Belanda. bisa kita lihat adanya pesantren yang tumbuh sebelum adanya pendidikan “barat”. Melaui media pesantren tersebut di sana dipakai untuk sarana pembelajaran untuk transfer nilai-nilai islam. Mereka mendakwahkan ajaran agama kepada masyarakat dan sekaligus sebagai alat perjuangan. Itu bisa kita lihat pejuang-pejuang dari kalangan santri atau pesantren yang gugur demi tegaknya kedaulatan Negara kita.
Kalau kita perhatikan ada pola budaya bentukan colonial Belanda yang turut menentukan dinamika pendidikan kita. Ada steriotipe barat yang menganggap orang di luar Eropa pada waktu itu masih bersifat promiskuitas, barbarism, savagery dll. Hal itu menjadikan adanya system klasifikasi yang mengarah rasism. Dan akibatnya di Indonesia pun ada system kelas yang dibentuk Belanda. Orang Bumi putra demikian kita di golongkan. Hal itu berlajut kedalam klasifikasi yang merugikan.
Akibat dari system kelas tersebut pengaruhnya terhadap pendidikan orang bumi putra adalah hanya golongan bangsawan/ priyayi yang bisa bersekolah di sekolah Belanda. Dalam sebuah artikel dikatakan anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar. Dan tentunya inilah awal babak baru yang menggiring kita akan pemahaman adanya dikotomi antara umum dan agama. Bagi rakyat bukan golongan priyayi pilihan tidak lain adalah pendidikan pesantren- yang berarti lebih bernuansa islam. Itu artinya diskriminasi tersebut membuat mobilitas social seseorang terbelenggu oleh system. Hanya orang tertentu yang diberikan akses untuk menempuh pendidikan “barat” (umum). Kondisi pesantren mendapat tekanan dan pendidikan islam memisahkan diri karena tekanan politik, agama dan social budaya.
Setelah merdeka pun dikotomi umum-islam masih tetap berlanjut, dan bahkan ada anggapan pendidikan islam terkesan di nomor duakan, kualitas lulusannya tidak sebagus yang dari umum, dll yang semuanya mengesankan pendidikan islam ada dalam “kelas nomor dua”. Dan sekarang kesempatan akses untuk mendapatkan pendidikan bagi seluruh Warga Negara Indonesia dijamin oleh konstitusi. Namun dikotomi antara umum-islam tidak serta merta hilang seiring dengan penjaminan oleh konstitusi.
Kalau kita mengacu pada skema teoritis dari Clifford Gertz seorang Antropolog yang banyak mencurahkan perhatian pada kebudayaan bali dan jawa, yang membuat kerangka acuan “model untuk dan model dari”. Dengan memakai kerangka acuan tersebut, kita bisa memjelaskan struktur pola di mana “model untuk” sebagai model acuan, harapan yang seharusnya dilakukan( das sollen) sedangkan “model dari” merupakan model yang terjadi/ kenyatan yang ada di masyarakat( das sein). Pendidikan islam kalau mengacu model untuk, pada waktu itu sangat berperan sebagai ajang membentuk pribadi yang cerdas, dan siap berjuang dan bertaqwa kepada Allah SWT yang menurut Safri Sairin (2002) kualitas lulusan ditentukan kiprahnya dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman pendidikan tradisional seperti pendidkan pesantren/ surau mulai ditinggalkan. Hal itu disebabkan oleh dorongan-dorongan seperti keinginan untuk mendapatkan posisi pemerintahan, karir politik, dunia kerja/ swasta, dll yang merupakan “model dari” yang merupakan realita yang membutuhkan formalitas pendidikan.
Kalau kita kembalikan ke “model untuk” maka pendidikan islam dan yang umum mengalami perubahan orientasi. Orientasi yang berkembang sekarang adalah mengarah ke pemenuhan “pasar kerja”. Pasar kerja tersebut merupakan “model dari” karena pasar kerja merupakan realita di lapangan. Hal itu berimplikasi pada kualitas lulusan yang menurut Safri sairin lebih ditentukan oleh sistem nilai akademis, apakah dia “berkualitas” seperti harapan yang ada dalam “model untuk” atau tidak,tergantung pada pribadi yang bersangkutan.
Pada awalnya Pendidikan Islam memang dimaksudkan sebagai representasi dari “model untuk” yaitu jika seseorang yang telah mendapatkan ilmu dari ustad/ gurunya, maka ia berkewajiban “amar ma’ruf nahi munkar” ( mengajak pada kebaikan dan mencegah kesalahan/ berbuat munkar) artinya ia wajib menyampaikan ilmu agama dari ajaran islam yang dogmanya merupakan “model untuk” bagi seluruh umat di dunia. Ini berarti bisa dikatakan pendidikan islam untuk membentuk juru dakwah. Berkembangnya sekolah-sekolah seperti madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah bahkan Institut Agama Islam, karena alasan permintaan pasar maka ada tendensi yang mengarah ke pasar kerja. Hal ini bisa dikatakan “model untuk” menjadi alasan bukan yang utama berubah ke arah “model dari” yang menjadi alasan utama, sehingga permasalahan yang menyangkut jual beli ijasah illegal dalam dunia pendidikan kita pada umumnya bisa dapatkan titik temu, dari logika pemecahan masalah tersebut diatas. Perubahan orientasi pasar kerja membuat pendidikan dijadikan orientasi masyarakat untuk mengejar ijazah. Ijazah menjadikan alat untuk mobilitas social ke atas, karena memang pasar kerja menghendaki pendidikan formal sebagai syarat kualifikasi setiap ada proses penerimaan karyawan/ pegawai. Hal itulah yang memunculkan praktik jual beli ijazah.
Diakui atau tidak perlakuan-perlakuan yang berbeda dan dikotomi dalam pendidikan berdampak yang tidak baik. Keterlibatan Departemen Agama untuk mengatur sekolah yang islam adalah suatu yang seharusnya, sebab kalau tidak sekolah-sekolah akan berjalan tanpa arah yang jelas. Konsep konpergensi telah ditelorkan oleh DEPAG yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum sekolah agama. Yang diikuti dengan dikeluarkan surat keputusan menteri pendidikan, mentri agama dan mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan di Indonesia.
Negeri: swasta

Bahkan lebih ironis lagi pemisahan tersebut jelas dengan sekolah yang berlabel negeri dan swasta. Banyak orang tua yang antusias ingin menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang negeri. Dunia kerjapun selalu melirik lulusan yang berlabel negeri. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena sejarah telah membentuk demikian, sebagai contoh adanya ikatan dinas bagi sekolah berplat ”merah” ini setelah lulus langsung mendapatkan posisi bagus di lingkup instansi Negara, dll. Sementara yang swasta harus berkompetisi hanya untuk bisa survive di pasaran tetapi itupun hanya di level bawah dan lingkupnya lebih banyak sector swasta.
Menurut Nasution dalam bukunya sosiologi pendidikan(2004) mengemukakan alasan orang melanjutkan pendidikan yaitu; alasan mendapat pekerjaan, memberikan ketrampilan dasar, sebagai alat mobilitas social, menyediakan tenaga pembangunan, membantu menyelesaikan masalah social, transmisi kebudayaan, membentuk manusia yang social dan alasan transformasi budaya. Alasan seperti itulah yang mendorong orang menjatuhkan pilihan ke sekolah yang dianggap mampu menjamin kehihupan dunianya. Ini pilihan logis dari masyarakat yang tengah berada di era persaingan yang tentunya motifasinya ingin naik anak tangga ke kelas yang lebih tinggi dan keberadaan masyarakat kita yang penuh dengan “simbolisme”. Artinya konsumsi symbol banyak di buru oleh masyarakat kita hanya untuk sekedar ingin mendapat “cap” yang menunjukkan identitas kita terhadap kelompok yang lain.
Penyelenggara pendidikan swasta, kalau kita tilik sejarah juga punya andil besar dan telah ada sebelum RI ini berdiri, sebut saja Muhammadiyah, Tamansiswa, dll. Kiprah mereka di kancak politik, social budaya juga besar misalnya bisa kita ingat dari pergerakan nasional dulu. Kalau kini harus mencerdaskan anak bangsa, itu memang tujuan kita bersama yang termaktub dalam pembukaan UUD sebagai tujuan nasional, tetapi kalau kita lihat tidak sedikit sekolah swasta yang mendapatkan peserta didik yang terkesan”lengseran”dari sekolah negeri. Swasta mendapat siswa menunggu pengumuman yang negeri itulah realita yang berkembang. Artinya peserta didik kalaupun harus dikategorikan atau dibuat pemeringkatan maka yang sekolah negeri tentunya mendapatkan anak didik yang punya “kemampuan, bakat dan juga tingkat kecerdasan” yang lebih bagus. Harapan kita adanya langkah yang proposional dalam memberikan perhatian entah itu fasilitas, kesempatan yang sama dalam hal apapun maupun dalam hal lain.Nah, inilah yang perlu harus dibenahi dikotomi ini harus dihilangkan karena memang memisahkan.
Bahwa ilmu dan agama bukan sesuatu yang harus dipisahkan, tetapi lebih pada saling mengisi. Enstain seorang ahli fisika mengemukakan “ilmu tanpa agama adalah buta”. jadi semua punya titik temu yang mengarah pada dogma agama sebagai muaranya. Ilmu pegetahuan bermuara ke filsafat dan filsafat sebagai mother of secience “induknya ilmu bermuara ke agama. Jadi ilmu bukanlah semata-mata otoritas duniawi yang berbeda dengan agama yang dipandang berorientasi akherat. Ini pemahaman yang salah dan harus di luruskan bahwa ilmu itu adalah upaya akal untuk mengenal gejala alam yang tentunya sebagai cara mengenal keagungan Allah.

2.2 Kebijakan pemerintah dan perubahan menejerial pendidikan
Sebelum kita analisa kita buatkan bagan oposisi biner untuk memudahkan kita memahami
Sentralisasi : Desentralisasi
Menejemen Berbasis Pusat : Menejemen Berbasis Sekolah
Kurikulum berbasis pengetahuan : kurikulum berbasis kompetensi
Opisisi yang saling berhadapan diatas dalam pandangan atau paradigma strukturalisme sangat berarti, karena satu menjadi penting atau berarti karena ada yang lain yang yang menjadikan punya arti. Untuk penjelasannya sbb:
Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah RI No.25 tentang Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom adalah sebagai dasar hukum telah memicu perubahan mendasar tentang pola pegelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah ini, otonomi pendidikan yang kemudian bisa kita sebut Manejemen Berbasis Sekolah dipandang sebagai system pendidikan yang ideal. Tentunya pengelolaan menjadi hal yang sudah pasti berubah. perubahan terjadi karena menejemen berbasis pusat/ sentralistik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah. Menejemen berbasis pusat bahwa masyarakat lebih dijadikan obyek yang selalu menerima karena segala aturan bersumber pada pusat. System ini bisa dikatakan dengan melalui garis komando top-down. Masyarakat dalam keterlibatannya bersifat pasif. Maka dikeluarkan lah pola menejemen baru yaitu manajemen berbasis sekolah (MBS).
Isi penting dari MBS adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan sekolah, terutama yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan. Karena sifat itu maka MBS lebih merupakan pendekatan bottom-up. Tujuan MBS adalah untuk memandirikan/ memberdayakan sekolah demikian bahwa MBS yang cenderung lebih mengikutsertakan masyarakat sebagai pengelola pendidikan lebih sejalan dengan semangat OTDA. Namun MBS sebagai “model untuk” tidak dengan sendirinya berjalan dengan baik, namun ada banyak pekerjaan yang perlu dicari solusinya.
Prayoga dalam tulisan berjudul analisis dampak implementasi kebijakan otonomi pendidikan dalam kerangka otda mengemukakan bahwa “ternyata kalau dilihat dari segi sistematikanya, isi, dan tujuan dari UU otda dalam pendidikan sudah mencirikan suatu system hukum yang demokratis”, tetapi ketidaksiapan masyarakat menerima kenyataan dari otonomi pendidikan adalah dengan naiknya biaya pendidikan, perubahan menejerial/administrasi, terbentuknya dewan sekolah sebagai legislator, menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dalam penanganan dunia pendidikan dan menurunya respon masyarakat terhadap partisipasi dalam pendidikan.
Pola pengaturan atau pengelolaan pendidikan di Negara kita ini terkesan membingungkan. Dalam tulisan Ki Supriyoko tentang “pembunuhan sekolah swasta” mengemukakan alasan logis tentang nasib sekolah swasta yang tencam gulung tikar akibat kebijakan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan menggratiskan sekolah. Tentunya hal itu menjadikan banyak orang tua yang mmengirimkan anak ke sekolah negeri, akibatnya swasta kekurangan murid, ini bisa terjadi terutama di pedesaan dan daerah miskin. Karena memang disaat ekonomi yang kurang bagus pilihan rasional adalah pertimbangan motif ekonomi. Dan motif mutu/ kualitas bukan merupakan pertimbangan yang lebih penting.
Pola yang dipakai eropa-inggris pengaturan dilakukan oleh pemerintah dan swasta diberi kesempatan mengelola tetapi dibatasi untuk yang diatas standar, hasilnya banyak dilirik dunia. Pola yang berbeda seperti di USA pengelolaan pendidikan di serahkan masyarakat dan sekolah tidak ada yang gratis karena diserahkan swasta, adan hasilnya banyak sekolah swsta yang bermutu dilirik oleh dunia. Inilah model yang diametric ada dan punya karakteristik masing-masing. Kemudian di Indonesia masih belum jelas akibat kebijakan. Mana yang dipilih? sementara ada sekolah gratis tapi sampai pendidikan dasar, masih perlu ditanyakan tentang anggaran dalam dunia pendidikan kita apakah mampu menggratiskan dalam jangka panjang? Nah ini perlu dikaji
Pola menejemen ini berubah maka kurikulum sebagai alat pembentuk siswa juga harus disesuaikan. Amir Daien I(1973) kurikulum dapat diartikan sebagai pengalaman –pengalaman belajar yang di peroleh anak di bawah asuhan sekolah. Selanjutnya kurikulum sebagai alat pembentuk harus disesuikan dengan tujuan pendidikan. maka
Kurikulum berbasis kompetensi adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi maupun hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumberdaya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. menurut pusat kurikulum (2002) seperti ditulis Sudarno bahwa sasaran akhir dari KBK adalah perubahan perilaku (performance) pada siswa. Mereka belajar tidak semata-mata utuk tahu(to know) tapi juga untuk diterapkan dalam masyarakat apa yang didapat (to be) akhirnya bias membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmonis( to life together). Ini berbeda denga kurikulum berbasis pengetahuan yang cenderung berorientasi pada untuk tahu(to know).
Kurikulum berbasis pengetahuan diibaratkan siswa itu sebagai wahana untuk diisi, guru yang aktif dan dominant sedangkan siswa lebih pasif dan dikesankan tidak tahu apa-apa yang selalu diisi. Orintasi pendidikan pun berupa learning to know.
2.3 Fungsi lembaga pendidikan dan kasus ijasah
Setiap WNI punya hak yang sama untuk mendapat pendidikan. Dan pendidikan adalah keniscayaan karena memang melalui pendidikan seseorang bisa dewasa dalam menghadapi segala permasalahan. Sebuah lembaga Pendidikan didalamnya ada kurikulum yang berupa alat membentuk siswa sesuai tujuan nasional. Tentunya ini lembaga pendidikan ini sebagai tempat pembentukan generasi muda yang diharapkan mampu dan dewasa dalam segala hal dalam menyikapi hidup ini.
Namun seiring denagn perkembangan jaman maka orientasi dan alasan orang mencari dan memilih tampat/ lembaga pendidikan pun juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kekuatan pasar. Permintaaan pasar yang disini kita maksudkan dunia kerja yang selalu menuntut “job description” yang tepat sesuai profesionalisme pendidikan orang. Dalam pendelegasian pekerjaan “right man on the right place” adalah tuntutan perusahaan agar dapat mencapai efisiensi.
Kita bisa katakan bahwa satu sebab bisa menimbulkan pluralitas akibat, maka tuntutan-tuntutan seperti itu menjadikan praktik-praktik yang cenderung kurang menghargai proses pendidikan. Dunia kerja yang lebih menghargai formalitas hasil pendidikan, dimanfaatkan lembaga pendidikan untuk menarik keuntungan. Artinya untuk mendapatkan ijazah sebagai orientasi yang banyak dicari orang, terkadang dengan mudah bisa di”atur”. Dari kompas.com diberitakan Koordinator Kopertis Wilayah V Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Prof Dr Budi Wignyosukarto menduga pratik pembuatan ijazah ilegal sudah berlangsung lama dan kemungkinannya sejak diberlakukan otonomi perguruan tinggi. Sebab dengan otonomi itu sejumlah PTS diduga melakukan praktik jual beli ijazah tersebut," katanya.
Memang diduga ijazah ilegal yang beredar di masyarakat mencapai sekitar 1.500 lembar yang dikeluarkan hanya dari salah satu PTS saja. Namun, jumlah itu diperkirakan masih lebih banyak lagi, karena ditengarai ada beberapa PTS yang melakukan praktik serupa yaitu mengeluarkan ijazah palsu.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dikotomi antara ilmu dan agama adalah produk warisan dari zaman kolonial belanda. Pemisahan atara imu dan agama sudah melekat pada manusia Indonesia yang kalau ditelusuri sudah ada sejak dahulu karena memang aturan hukum yang bersumber dari akal manusia terkadang ada yang bertentangan dengan hukum yang bersumber pada wahyu/ dogma agama. Jadi sejak dulu dikotomi ada dan itu lah maka model untuk dan model dari selalu berhadapan. Antara das sollen dan das sein selalu terbuka untuk dipermasalahkan. Untuk itu diperlukan harmonisasi hubungan antara ilmu dan agama. Peran Departemen Agama yaitu dengan memasukkan pendidikan agama kedalam kurikulum pendidikan umum dan pelajaran umum pada sekolah-sekolah agama.
Ilmu dan agama bukan lah hal yang terpisah dan kita wajib menempatkannya secara holistis karena peran keduannya mempunyai hubungan yang erat, keduanya tak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. Manusia bebas menuntut ilmu dan mengembangkan teknologi tetapi semua itu harus dibatasi oleh agama. Jangan sampai ilmu pengetahuan dan teknologi justru menjerumuskan manusia.. Dan Tugas maanusia mencari kebenaran atau ilmu pengetahuan dibalik semua ciptaan Allah (rahasia yang terkandung didalamnya).

3.2 saran

Perlu disini saya sampaikan saran
 Pendidikan akan menemukan bentuknya jika dikotomi hilang dan pengelolaan pendidikan disesuaikan kebutuhan dan selalu melihat kondisi riil masyarakat.
 Diperlukan harmonisasi hubungan antara ilmu dan agama. Peran Departemen Agama yaitu dengan memasukkan pendidikan agama kedalam kurikulum pendidikan umum dan pelajaran umum pada sekolah-sekolah agama yang harus proporsional. Karena memang pendidikan moral masyarakat kita perlu mendapatkan segera terapi pencerahan.
 Perlu ditindak sesuai prosedur hukum yang berlaku kepada Lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah palsu.

Daftar pustaka
o Daein I, Amir; Pengantar Ilmu Pendidikan sebuah tinjauan teoritis filosofis; (F Ilmu Pendidikan FKIP Malang; 1973)
o Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1989)
o Dharma Agus,(2003). Manajemen Berbasis Sekolah
o John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992)
o Kuntjaraningrat; Pengantar ilmu Antroplogi (Jakarta: Rinekacipta, 1979)
o Sairin, safri, Perubahan social masyarakat Indonesia (Yogyakarta; Pustaka pelajar; 2002)
o Sudarno;MIIPS (UNS;2004) dalam artikel ilimah yang berjudul kurikulum berbasis kompertensi:sebuah refleksi
o SKIM IX-2005 UNPAD-UKM Simposium kebudayaan Indonesia dan Malaysia; Prayoga; analisis dampak implementasi kebijakan otonomi pendidikan dalam kerangka otda
o Rusydi; Wacana dikotomi llmu dalam Pendidikan Islam dan pengaruhnya (2009)
o http://Klub Guru Indonesia e-journal ilmiah “Ki Supriyoko tentang “pembunuhan sekolah swasta”
o http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/10/dikbud/diko09.htm
o http://edukasi.kompas.com/read/xml/209/01/17/17191283/
o http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/mana jemen_berbasis_sekolah.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar